Detektif Ujang - Misteri Pencurian Mayat (1)

Akhir-akhir ini Ujang sering terlihat murung di kamar kosannya. Warna mata yang memerah dan kantung mata yang semakin berkerut sudah cukup menandakan bahwa Ujang terserang kegelisahan yang hebat. Kehadiran Dio di dekatnya pun tidak dihiraukan. Volume tipi yang nyaring juga tak digubris oleh Ujang. Dio mulai panik. Ia merasa kali ini Ujang sungguh keterlaluan membiarkannya diam selama empat jam. Dio lalu bangkit dan mendatangi Ujang yang terpaku di depan monitor komputernya.

“Jang, lo kenapa sih diem terus? Gue tuh dari jam delapan pagi disini, monyong! tapi lo diem aja. Kenapa sih? Celana dalem lo belum kering?” Dio memasang wajah prihatin.

“Bukan Dio. Tapi ini nih, akhir-akhir ini gue jadi gila maen poker di fesbuk.”

“Ya elah, gue kira apaan. Emang enak gitu maen gituan, Jang?”

“Enggak sih, tapi ini lagi ngetrend di fesbuk. Lu liat deh, cewek-cewek cakep sekarang maenannya ini, poker.”

“Yah, itu mah cewek jadi-jadian, Jang. Banyak cowok yang nyamar jadi cewek di fesbuk kalo itu mah. Paling yang beneran ceweknya sedikit,” Dio mengambil koran yang tergeletak liar di atas meja komputer Ujang. “Tumben lo beli koran, Jang?” sambung Dio.

“Iya, itu gue beli buat gebukin kecoa. Semprotan serangga itu mahal, Dio, gue harus ngemat,” Ujang menatap Dio sambil melemparkan senyuman tergenitnya.

“Ya ampun, detektif pedit lo, sampe sekarang masih perhitungan. Eh tunggu dulu, nih ada berita di koran ada kasus pelajar mesum di mobil. Ini kasus jangan-jangan lo lagi yang nanganinnya?”

“Kampret lu, mana mau gue nanganin kasus begituan, itu mah masalah iman,” Ujang mengambil rokok dan menghidupkannya dengan korek api minyak berwarna biru. “Oh iya, sebenernya gue beli koran itu buat liat iklan jasa detektif gue,” Ujang kembali melepaskan senyumnya ke hadapan Dio.

“Hah, kapan lo masukinnya?”

“Kapan ya, lupa gue, ya sekitar beberapa hari yang lalu. Lumayanlah namanya juga usaha, Dio.”

“Iya sih, tapi lo yakin itu bakal berhasil buat memperluas jasa lo ini?”

“Yakin, tuh ada suara langkah kaki yang gak biasa di bawah. Itu bukan suara langkah kaki anak kosan, ibu kosan juga bukan. Mari kita sambut tamu kita ini dengan penuh ketulusan, Dio.”

“Caelah, sejak kapan lo ngerti kalimat ketulusan, jang, ngomong lo kayak yang udah bener aja dah…”

“Tuh, sejak gue baca buku itu,” Ujang menunjuk buku Kahlil Gibran yang terdampar di atas printer. Tak lama kemudian sosok pria gagah dengan seragam Polisi berdiri tepat di depan pintu kamar kosan Ujang yang menganga lebar. Seseorang yang memiliki kumis lebat yang berkarisma tinggi itu ternyata bukan orang asing bagi Ujang. Manusia yang ingin meminta pertolongan Ujang itu ternyata adalah Inspektur Abdul. Ujang hanya tersenyum dan menyambut sang inspektur dengan senang hati.
“Apa kabar Inspektur, pantas aja saya gak kenal langkahnya, lah anda ganti sepatu,” kata Ujang sambil menjabat tangan Inspektur Abdul.

“Haha.. kali ini kamu kalah, Jang!” Inspektur Abdul mengelus-elus kumisnya.

“Ya ya ya, biasanya sih anda memakai sepatu yang lebih berat. Ada apa dengan mayatnya, Inspektur?” tanya Ujang.

Sungguh terlalu, ucap Inspektur Abdul dalam hati. Seperti biasa Ujang berhasil membuat Inspektur yang bertubuh besar itu terpelongo dan diam. “Darimana kamu tau, Jang?” Inspektur Abdul tampak bingung.

“Mudah aja, ada jejak tanah baru di sepatu anda, Inspektur. Selain itu tangan dan baju anda juga ada pasir-pasir basah yang nempel gitu. Kasus apa yang berhubungan dengan tanah dan pasir ini? Kalau bukan pembunuhan pasti berhubungan dengan sesuatu yang berkaitan erat dengan tanah, dan itu mungkin kuburan. Anda lebih memilih datang ketimbang menelpon, itu berarti kasusnya aneh. Dan saya hanya menebak mungkin itu berhubungan dengan mayat,” Ujang membalas dengan senyumnya yang khas.

Inspektur Abdul melemas. Ia kemudian duduk di lantai, tepat disebelah kanan Dio yang sedang asik menonton FTV, “kuburannya dibongkar, mayatnya hilang, Jang! Empat hari yang lalu hal serupa terjadi di pemakaman lain, tapi saya tidak langsung menghubungi kamu karena saya pikir itu kasus pembongkaran kuburan biasa,” tatapan Inspektur Abdul terlihat kosong.

“Lalu, kenapa sekarang bapak berpikir kasus hari ini berhubungan dengan kasus empat hari yang lalu?” Dio yang tidak mau menjadi patung melepaskan unek-uneknya.

“Soalnya kedua mayat tersebut memiliki identitas yang sama. Keduanya mayat perempuan kelahiran tahun 1987,” Inspektur Abdul menarik nafas sejenak.

“Lalu, apa ada perbedaan antara pencurian mayat yang pertama dan kedua ini?” tanya Ujang sambil menatap Inspektur Abdul dengan tajam.

“Pada kasus pertama, kami tidak menemukan kain kafan di sekitar kuburan. Namun kasus kedua ini kami menemukan kain kafannya udah dibuka dan dalam keadaan robek-robek gitu,” Inspektur Abdul menempelkan punggungnya di dinding dan kembali melanjutkan keterangannya. “Selain itu, pada kasus pertama, si penjaga kuburan tidak melihat apa-apa tapi dia mengaku lalai telah meninggalkan kuburan itu selama kurang lebih satu jam. Sementara pada kasus kedua ini sangat aneh, si penjaga kuburan mengaku melihat serigala besar mengacak-acak kuburan dan merobek kain kafan. Setelah itu si penjaga pingsan karena dia sangat ketakutan. Faktor-faktor itu yang buat saya kesini minta bantuan kamu, Jang.”

“Bagus, sangat bagus. Ini kasus nilai seninya sangat tinggi!” seru Ujang sambil mengepalkan kedua telapak tangannya.

 “Ya, entah kebetulan atau enggak, yang jelas kasus ini harus kamu tangani, Jang!” Sang inspektur tertular semangat Ujang.

Ujang lalu mematikan rokoknya pada sebuah asbak kecil tepat di samping komputer. Ia beranjak dari duduknya. Melemaskan badannya yang kaku akibat keseringan bermain poker di facebook. Akhirnya, setelah dua bulan menganggur, Ujang kembali dipertemukan dengan kasus yang cukup serius. Jaket hitam ala vokalis D’Masiv pun kini menempel di tubuh Ujang. Dengan cepat detektif cungkring itu mengambil kunci motor Mio biru miliknya dan melemparkannya ke Dio.

“Oke, sekarang mari kita ke TKP!” seru Ujang.

“Gue yang bawa motor, Jang?” protes Dio.

“Ya iyalah kan kuncinya di lo, Dio. Oh iya inspektur, silahkan duluan, kami ngikut dari belakang.”

“Siap, Jang. Mari, kita harus cepat,” Inspektur Abdul keluar dari kamar kosan Ujang terlebih dahulu untuk menuju mobil kebanggaannya, mobil polisi.

Selang beberapa menit Ujang dan Dio telah nangkring di bagasi untuk menghidupkan motor. Sembari memakai helm, Ujang kembali menghidupkan rokoknya. Sementara Dio sedang berusaha mengeluarkan motor matik kepunyaan temannya itu dari bagasi. Keduanya kemudian berlalu meninggalkan kosan dan mengekor mobil polisi yang ditunggangi Inspektur Abdul.

***

Pemakaman umum yang hanya berjarak 2 kilometer dari kosan Ujang itu terlihat cukup luas serta dipenuhi rerumputan liar di sekelilingnya. Ujang dan Dio berjalan pelan di belakang Inspektur Abdul. Seperti biasa Ujang memasang ekspresi datar, sedangkan rekannya Dio terlihat risih dengan keberadaan rumput-rumput liar yang menggelitik kakinya. Tak lama kemudian mereka bertiga sampai di depan kuburan baru yang telah acak-acakan. Ketua tim penyidik lalu mendatangi Ujang dan memperlihatkan temuannya kepada Ujang.

“Hmm, ini kain kafannya ya. Sekilas terlihat kain kafannya robek, tapi sebenarnya ini digunting. Menarik, ini ditemukan dimana?” tanya Ujang.

“Tepat diatas batu nisannya, Jang,” Inspektur Abdul menjawab dengan style tangan menempel di dagu.

 “Mayat ini namanya siapa? Terus meninggalnya bagaimana, Inspektur?” Tanya Ujang sambil memasukkan kedua tangannya ke kantong jaket.

“Namanya Rina, kata keluarga korban sih dia meninggal karena kecelakaan mobil sekitar tiga hari yang lalu.”

“Menarik. Kalau mayat yang pertama?” Ujang kembali bertanya. Kali ini ia sedang bersiap menghidupkan sebatang rokok.

“Mayat pertama namanya Ajeng. Dia meninggal sekitar lima hari yang lalu karena terkena penyakit jantung, Jang.”

“Hmm, kematian yang waktunya berdekatan. Ini bukan kasus pencurian mayat biasa. Oh iya, memangnya si Ajeng ini ada riwayat punya penyakit jantung?”

“Iya, kata keluarganya sih gitu dan kami juga sudah lihat riwayatnya.”

“Oke Inspektur, sekarang saya ingin bertemu dengan penjaga kuburannya,” ucap Ujang sembari melihat tanah kuburan yang sudah tercerai-berai.

Inspektur Abdul kemudian meninggalkan Ujang dan Dio untuk memanggil si penjaga kuburan. Ujang seperti biasa berputar-putar area TKP. Lubang kuburan pun tak lepas dari pengamatannya. Sesekali ia juga memeriksa tanah kuburan yang basah.

“Apa yang lo dapat, Jang?” Dio yang memegang note kecil dan pena tak sabar menuliskan apa yang akan diucapkan oleh Ujang.

“Menurut lu apa, Dio?”

“Yee, malah balik nanya ente. Kalo kata gue sih ini kayak acara dua dunia di tipi itu, Jang. Ini jangan-jangan pembalasan dendam dari siluman serigala. Dia meminta korban, Jang!”

“Ngaco, kebanyakan nonton reality show yang gak jelas sih lu.”

“Emang tontonan lo apa, Jang? Palingan dokumenter binatang gitu.”

“Ya dong, nonton dokumenter gituan sangat penting bagi orang yang punya profesi kayak gue, Dio.”

“Iya deh, nah sekarang balik ke kasus. Menurut analisis lo gimana nih, Jang?”

“Hmm, kasih tau gak yaaa….”

“Kampret, alay banget dah..”

“Oke gue kasih tau. Di pencurian pertama, enggak ada kain kafan. Itu karena si pelaku tau hanya punya waktu yang sedikit, kata inspektur tadi si penjaga kuburannya cuman meninggalkan area kuburan sekitar satu jam lamanya. Berbeda di kasus kedua dia sempat ngelepas kain kafannya, dengan cara digunting tapi dibuat kesan kalau itu di robek-robek biar menyerupai kalau itu ulah siluman serigala beneran.”

“Kenapa harus ngelepasin kain kafan, Jang?”

“Ya biar gak di curigain orang lain, bego… tapi yang buat janggal gue tuh sebenernya serigala besar yang dilihat itu apa yak?” Ujang menghisap rokok dan menelantarkan asapnya ke udara. “Nah itu dia inspektur Abdul sama si penjaga kuburan udah datang, Dio. Saatnya menggali informasi,” sambung Ujang.

Bersambung...

Home - About - Order - Testimonial
Copyright © 2010 Tentang FaceBook All Rights Reserved.